Selasa, Januari 22, 2008

Menjadikan PMS yang Win-Win

Berkaca pada sebuah rumah tangga yang baru terdiri dari suami dan istri; begitu hubungan mereka disahkan oleh Pengadilan Agama, maka masing-masing mereka merupakan unit organisasi terkecil dalam suatu negara yakni sebuah keluarga. Organisasi kecil ini kemudian mulai membangun cita-citanya dalam bentuk sebuah visi: ”menjadikan rumah tangga yang bahagia”. Visi yang cukup sederhana bukan?

Tidak jauh berbeda dengan organisasi yang bernama ”perusahaan”. Setiap anggota organisasi yakni para karyawan memiliki peran, tugas dan tanggung jawab. Hanya saja peran, tugas dan tanggung jawab tersebut didesain sedemikian rupa, sehingga pada akhir periode yang ditetapkan oleh perusahaan, performa karyawan kemudian dievaluasi.

Lalu apa yang menjadi inti dari evaluasi tersebut? Human Capital Management System (HCMS) khususnya dalam Performance Management System (PMS) meyakini adanya indikator kinerja (Key Performance Indicator) sebagai alat ukur pencapaian atau keberhasilan pencapaian objektif para karyawan.
Lebih detail, KPI disini merupakan “satuan pengukuran” pencapaian objektif dari pekerjaan, seperti: jumlah penjualan yang berhasil dibukukan, jumlah client visit yang dilakukan, jumlah artikel yang diketik, jumlah surat yang diantar, dan sebagainya. KPI-KPI inilah yang merupakan satuan pengukur yang memberikan kontribusi yang unik pada setiap pekerjaan, yang akhirnya merupakan kontribusi si pemangku jabatan bagi organisasinya.

Penentuan KPI

Sekarang marilah kita melihat bagaimana KPI itu dijabarkan. Dalam artikel ini dibahas bagaimana cara penentuan KPI, yakni: (1) penentuan KPI yang sifatnya personal/ distinct dan (2) penentuan KPI yang bersifat shared.
KPI yang sifatnya personal/ distinct, jika menerjemahkan distinct tersebut adalah yang sifatnya khas dan tidak dimiliki oleh orang lain di dalam organisasi ini. Sehingga konsekwensi dari distinct-nya KPI adalah KPI antara atasan dengan bawahan tidak akan sama.
Sebagai ilustrasi, suatu divisi yang terdiri dari 1 atasan dan 2 bawahan memiliki KPI sebagai berikut: si A selaku atasan adalah ”membukukan penjualan Rp 100 juta”, sedangkan KPI 2 orang bawahan terdiri dari si B dan si C, masing-masing adalah: ”membukukan penjualan Rp 50 juta”. Pada akhir periode evaluasi (misalnya di akhir kuartal) jika target ”membukukan penjualan Rp 100 juta” tercapai, maka si A secara otomatis mengakui bahwa pencapaian target tersebut adalah keberhasilan A. Tentunya hasil kerja keras si B dan si C tidak diakui atau tercatat karena KPI mereka adalah resultante KPI atasan perorangan. Bukankah ini PMS yang win-loose dari sisi atasan?
Untuk itu KPI A, B, dan C direvisi. B & C memiliki target masing-masing ”membukukan penjualan Rp 50 juta”; sedangkan A adalah ”menghasilkan deal strategis/ menguntungkan dengan pihak ketiga dan upaya membuka pasar”. Sehingga A memiliki peran yang sesuai dengan kapasitasnya (tertantang untuk terus mengembangkan dirinya) serta kontribusi B & C di atas kertas diakui perusahaan sebagai prestasi.
Kesepakatan dalam PMS yang win-win kemudian terjadi: bayangkan bagaimana kompetisi serta pengembangan kompetensi yang terjadi pada jajaran perusahaan jika secara sistem KPI dibuatkan distinct. Tak jarang saran dan masukan bagi pengembangan perusahaan yang datang dari bawahan akan kerap terdengar dan dapat langsung dilaksanakan karena mereka memiliki tanggung jawab serta otoritas dalam mewujudkan KPI mereka.

Sedangkan KPI yang sifatnya shared diwujudkan dengan menentukan WIG (Wildly Important Goals) suatu organisasi atau apa yang menjadi tujuan yang paling utama bagi perusahaan. Kemudian WIG tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk KPI yang bersifat shared oleh unit-unit yang ada di perusahaan. Untuk mencapai WIG suatu perusahaan tentunya diperlukan kerjasama team serta kontribusi dari individu. Anggota team kemudian menentukan kontribusi team mereka untuk WIGs perusahaan. Pada tahap berikutnya adalah masing-masing anggota tim menentukan KPI individual untuk mewujudkan WIGs tersebut. Tentunya dengan merumuskan KPI yang dapat diprediksi, dan sifatnya terukur dengan dimensi waktu. Sebagai ilustrasi, dengan WIG ”meningkatkan penjualan dari Rp 150 juta menjadi Rp 250 juta pada periode X” kemudian diwujudkan oleh atasan dengan kegiatan: melakukan client visit, dengan KPI ”jumlah pertemuan/ presentasi dengan client sebanyak 3 kali per minggu”. Sedangkan kegiatan bawahannya adalah menyiapkan dokumen/ logistik yang diperlukan untuk client visit atasannya, dengan KPI ”jumlah dokumen dan logistik yang disiapkan sebanyak 3 kali per minggu”.

Implikasi dari Kesepakatan Win-Win

Dari uraian penentuan KPI diatas, maka timbullah pertanyaan. Bagaimana agar dalam proses PMS dalam suatu organisasi dapat terjadi kesepakatan yang win-win?
Jawabannya adalah pada proses PMS. Langkah-langkahnya terlebih dahulu (1) tentukan bagaimana kompetensi tim anda, (2) seberapa besar jumlah anggota tim anda, hingga (3) kompleksitas di dalam tim anda (struktur dalam tim, mobilitas, hingga beban/ kapasitas kerja pada tim). Hal ini ditujukan agar setiap anggota tim dapat bekerja dengan baik dengan mengaitkan atau menekankan KPI tersebut dengan kompetensi, kapasitas, serta talent yang dimiliki oleh karyawan. Sehingga dalam proses PMS organisasi akan dapat terjadi kesepakatan yang win-win dengan menggunakan kombinasi dua pendekatan di atas.

Lebih jauh, penentuan KPI individual yang distinct menghendaki atau mensyaratkan anggota tim yang memiliki independensi serta kompetensi yang tinggi. Artinya anggota tim idealnya dapat bekerja sendiri tanpa pengawasan, supervisi dan bahkan bantuan dari atasan. Kedewasaan anggota tim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sangatlah diharapkan. Tidak menutup kemungkinan KPI yang distinct ini juga dapat berjalan dengan baik pada organisasi yang bersifat matrix dan terdiri dari para ”expert”.
Pada penentuan KPI yang bersifat shared dimana kerjasama tim sangat dibutuhkan guna mewujudkan terlaksananya WIG tersebut. Pada terminologi ini, seberapa besar jumlah anggota tim, hingga kompleksitas di dalam tim sangat dipertimbangkan. Perimbangan kompetensi anggota dalam tim menjadi issue yang tidak begitu signifikan karena dapat ditutupi oleh kompetensi anggota tim lainnya, namun disiplin serta dedikasi anggotanya untuk mewujudkan WIGs tersebut menjadi issue yang signifikan.



Penutup

Sebagai penutup, kontinuitas evaluasi performa karyawan (PMS) diharapkan memberikan angin segar bagi berkembangnya talent dan komptensi para karyawan dan di sisi lain menciptakan kerjasama team untuk mewujudkan WIG. Sehingga ke depan PMS bukan lagi kegiatan yang dihindari yang berujung pada kesepakatan yang merugikan. Sebagaimana berjalannya suatu rumah tangga, diperlukan disiplin, kerja keras dan dedikasi jajaran perusahaan untuk mewujudkan Visi Perusahaan tersebut. Semoga saja!